Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

True Artist

  • Saturday, January 25, 2014
  • Gunmen
  • Labels:
  • Maumere, 25 Januari 2014


    Beberapa bulan berlalu setelah tulisan terakhirku di blog ini, Blog yang sempat terbengkalai karena berbagai macam alasan dan memang tidak ada inspirasi. Tulisan ini adalah niatan pertama ditahun 2014 untuk menulis, duduk sebentar di depan layar laptop sambil mengenang kisah 2013 yang sangat padat. Yah, 2013 adalah tahun dimana langit-langit tempat aku tidur silih berganti, tidak lupa bilang, aku sempat tidur berlangit-langitkan langit berbantalkan rumput dan  kuburan sambil diteriaki tentara. 
    Momen untuk dikenang..

    Beberapa waktu lalu aku menonton salah satu acara musik popular di TV, pembawa acaranya Olga Syahputra dan gerombolannya. Acara yang ringan untuk memulai hari. Sampai pada suatu adegan, yang membuat aku sampai menulis ini, dimana sang pembawa acara berbincang tentang salah satu kawan mereka yang mulai sering shooting (muncul di TV) dan mereka mengatakan kawan tersebut mencoba menjadi artist.

    Artist.. apa artinya artist?


    Kalau dilihat dari kata Artist asalnya dari art yang artinya seni, artist artinya pelaku seni. Semua orang tau ini. Tapi apa mereka pelaku seni? Apa obrolan dan bercandaan yang tayang di TV hitungannya seni? Kalau memang itu seni berarti nyanyianku dikamar mandi semalam termasuk super seni.

    Disaat mulai mengumpat, kenapa ada orang yang rela buang waktu untuk memikirkan hal tidak penting ini seperti aku. Aku membaca beberapa tweet dari seorang yang aku pandang sebagai artist, isinya mirip dengan yang aku pikirkan.


    Well, aku tidak sendirian.

    Seni; berpegang seperti yang sang artist katakan  dikicauannya; tentunya sangat kontradiktif dengan apa yang dilakukannya. Jika artist adalah profesi sakral, profesi sacral juga tetap profesi, dari profesi (a vocation requiring extensive education in science or the liberal arts and often specialized training) muncul professional (adj. following an occupation as a means of livelihood). Berdasarkan logika umum, Livelihood (mata pencaharian) adalah ditujukan sebagai sumber nafkah yang digunakan untuk menghidupi kehidupan diri sendiri dan/atau orang yang menjadi tanggung jawabnya. Maka dari itu profesi adalah modal utama seseorang memenuhi hirarki kebutuhannya; fisiologis, keamanan, sosial dll.

    Tentunya akan muncul bantahan seperti “tidak semua seniman menjadikan seni untuk mencari uang saja”, argument balasanku: “berpegang pada kicauan kedua dari bawah, tentunya diperlukan satu keadaan dimana seniman tersebut sudah merasa aman, nyaman dan sudah cukup menghasilkan dari seni, baru ia bisa beraktualisasi dengan seni itu. Jika ia tidak menjadikan seni sebagai pencari nafkah, dia tidak menjadikan seni sebagai profesi, berarti ia bukan seniman (merujuk kicauan keempat ttg seni sebagai profesi).” Aku rasa Abraham Maslow yang tersohor akan mendukung argumentku ini.

    Kalau berpegang dengan pandangan diatas bisa aku bilang, gagasan dari kicauan sang artis adalah salah, menyampingkan gagasan tersebut adalah ironi.

    Dan aku kembali pada kegelisahanku
    *****

    Aku membayangkan diriku berdiri didepan sebuah pot dan berkata ini adalah seni. Saat itu pula aku sadar kalau seni adalah sebuah gagasan yang timbul dari pengalaman. Walaupun aku berkata pot ini adalah sebuah seni, bisa saja orang lain bilang pot tersebut hanya sekedar wadah tumbuh sebuah tanaman. Namun kenapa semua orang setuju jika Monalisa adalah sebuah maha karya seni? Ini berarti ada sebuah standar absolut yang membuat sesuatu disebut seni; estetika (concerning the appreciation of beauty or good taste). Jika gagasan tentang estetika lahir dari sebuah apresiasi terhadap cita rasa yang bagus, cita rasa yang tidak bagus artinya kebalikan dari estetika. Tapi cita rasa bagus dan tidak itu timbul dari pengalaman dan ini tidak dapat dipaksakan, kecuali dengan tahapan persuasi hebat yang sampai tertanam ke alam bawah sadar; contohnya kulit putih lebih baik dari kulit berwarna. Oleh karena estetika pada awalnya adalah suatu pengalaman sekelompok orang yang berhasil menulari kelompok lainnya yang menimbulkan sebuah standar tentang suatu keindahan--seni, maka dari itu seni sendiri tetap adalah sebuah pengalaman.

    Seni adalah pengalaman; apa bedanya dengan yang bukan seni? Kembali aku bayangkan berdiri di depan pot itu. Kalau seni adalah sebuah pengalaman wajar saja orang lain menganggap pot ini hanya tembikar biasa, tapi kenapa aku beranggapan lain? Jawabannya adalah karena ini sebuah pengalaman, tak ayal emosi personal masuk di dalamnya. Bisa saja pot ini membuat aku tertawa, membuat aku sedih atau membuat depresi. Maka dari itu aku bisa berkata: seni adalah alat untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan sebuah emosi atau sebuah gagasan.

    Dengan ini terjawab sudah kegelisahanku, aku berkesimpulan kalau mereka yang muncul di TV mengklaim pelaku seni (artist) adalah memang pelaku seni. Karna semua orang yang menggugah emosi orang lain adalah true artist.

    Ps: Walaupun aku lebih suka menyebut mereka yg di TV sbg entertainer.
    • Share

    1 comments:

    Dewa Cakrabuana said...

    meninggalkan jejak, di jam enam pagi.... ngopi sambil dengar In Your Atmosphere, by Mayer

    Post a Comment

    (c) All Right Reserved 2011 This Is who I really am. Blogger template by Bloggermint