Denpasar, 23 Februari 2013
Well hello, sudah hampir dua bulan lewat dari post terakir di blog. Banyak cerita baru yang hendak aku ceritakan, tapi yang paling berkesan menurutku cerita tentang seorang kawan yang baik hati, a nice young lady, yang punya problem dengan percintaannya. Yah, walau cinta memang selalu menarik untuk dibahas, tapi di sini aku ingin bahas tempat sebuah hubungan percintaan di mata agama, yang paling sederhana dan akrab ditelinga adalah permasalahan “pasangan beda agama”.
PG: “Sial, bukan saya. Ada nih temen perempuan curhat, sebut saja bunga. Ini sedikit menyentil hati nurani saja.”
Well hello, sudah hampir dua bulan lewat dari post terakir di blog. Banyak cerita baru yang hendak aku ceritakan, tapi yang paling berkesan menurutku cerita tentang seorang kawan yang baik hati, a nice young lady, yang punya problem dengan percintaannya. Yah, walau cinta memang selalu menarik untuk dibahas, tapi di sini aku ingin bahas tempat sebuah hubungan percintaan di mata agama, yang paling sederhana dan akrab ditelinga adalah permasalahan “pasangan beda agama”.
The nice young lady ini sangat sedih dalam keluh kesahnya
padaku, bagaimana dia gundah gulana melihat akhir hubungannya dengan sang
kekasih yang begitu ia sayangi karena perbedaan yang “masyarakat bilang paling”
mendasar, agama. Dia beragama Hindu dan sang kekasih seorang Muslim. Kalau di
Bali, kejadian seperti ini memang umum, salah satu pihak dalam hubungan
beragama Hindu karena memang pemeluk Hindu lebih mayoritas, sekedar info saja
ibunya ibuku (nenek) dulunya seorang Muslim sebelum menikah dengan alm. Kakekku
yang seorang Hindu. Aku yakin di Indonesia banyak yang mengalami keadaan ini,
mereka memilih untuk bubar atau lanjut sampai pelaminan dengan salah satu pihak
convert ke agama pasangannya, Undang-undang pernikahan di Indonesia menyatakan,
secara formal dan material, sebuah pernikahan itu sah kalau kedua mempelai
seagama.
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat berbincang-bincang
dengan dua orang sahabatku yang intelektualitasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Inti perbincangannya tentang setuju atau tidak dengan kasus tersebut diatas.
Silahkan disimak ::
Satria PG (kemudian disingkat dengan PG) : “Hai Wo, Hai Mah, ayo
bicara serius malam ini. Bagaimana menurut kamu tentang pernikahan beda agama?”
Dewo (kemudian disingkat dengan Wo) : ”Jadi, kemarin di Kuta
kamu nge-date dengan ABG agama apa Ge?
PG: “Sial, bukan saya. Ada nih temen perempuan curhat, sebut saja bunga. Ini sedikit menyentil hati nurani saja.”
Wo: “Ooo,
tapi pastinya berat kalau pindah. Dari kecil biasa menyebut Hyang Widhi (Cara
Hindu Bali menyebut Tuhan-nya), sekarang harus nyebut lain. Rasanya awkward.”
Yang dimaksud Dewo di
statementnya adalah habitual kita yang dididik di lingkungan keluarga dengan suatu
agama, dan kemudian kebiasaan -berikutnya berkembang menjadi perinsip hidup-
yang telah kita junjung bertahun-tahun harus diubah. Sedari kecil jiwa kita
dibentuk dan ditempa menjadi suatu “sangkar” yang fit dan pas dengan prinsip
dan ajaran agama orang tua kita, selanjutnya “sangkar” tersebut mesti bentuk
ulang, tentunya ini jadi suatu yang sangat berat. Yaa Dewo memang orang yang
seperti itu, apa yang dia maksud lebih dalam dari yang ia katakan.
Maha
(kemudian disingkat dangan Mah): “Buat aku tidak ada masalah ge. Aku tipe yang tak
peduli agama apa yang dianut, yang penting Tri Kaya Parisudha-nya. Kalau istriku
nanti non Hindu, aku sih ngga masalah
jalan masing-masing. Tapi yang jadi masalah memang keluarga besar.”
Tri Kaya Parisudha yang tersebut
di atas adalah tiga ajaran etika dasar agama Hindu, berpikir, berprilaku, dan
berkata yang benar.
PG: “Hhmm
berarti Mah, kamu tipe orang yang lebih ke esensi dibanding ritual. Nah baru
mau masuk ke sana, bagaimana menyikapi lingkungan keluarga?”
Wo: “Bisa
saja kita seperti itu, seperti di film My Name Is Khan. Tapi, kalau sampe pada
keadaan anak hendak ikut agama apa, nah biasanya mulai susah.
Mah:
“Makanya balik lagi ke arah rasional. Apakah kamu mau membuat pertikaian dengan
keluarga besar yang bisa kamu hindarkan. Hampir seluruh keluarga Indonesia
masih belum bisa menerima perbedaan agama dalam rumah tangga.”
PG: ”Nah
sekarang supaya ada sedikit rasa memiliki, anggap anak perempuanmu kelak mau
menikah dengan pria dengan agama lain, yah anggap seorang Muslim. Bagaimana
kamu menyikapi?”
Mah: “Aku ngga masalah. Selama liat pria Muslim
tersebut memang oke bibit, bebet, dan bobotnya.”
PG:
“Meyakinkan keluarga besar? Bagaimana kamu melakukan itu sebagai seorang ayah?
Biasanya suara sumbang datangnya cenderung dari keluarga besar, bukan dari
keluarga inti.”
Mah: “ Aku
sih lebih ke arah meyakinkan anak perempuanku. Konsekuensi mengambil keputusan
itu adalah dimusuhi keluarga besar, kamu sudah siap lahir batin belum?”
Wo: “itu ndak bisa dilakukan sampai super smooth.
Come on, paman-paman biar diceramahi
Gus Dur juga tetep saja akan bilang “ngapain sih sama nak jawo”.
Bukan bermaksud mendiskreditkan
ras dan agama, keadaan masyarakat di Bali memang seperti ini, orang Bali punya
stereotip bahwa seorang Muslim adalah orang dari suku Jawa.
Mah:
“Keluarga besar ngga akan bisa
diyakinkan 100% Ge. Level pendidikan saja sudah jauh.”
Wo:
“Berjalanlah kalau memang yakin, buktikan kamu jadi keluarga yang bagus,
anak-anak barokah dan suputra. Suara sumbang akan hilang. Tapi kalau pecah di
tengah jalan, cerai, ditinggal anak, paman-paman akan datang sambil berkata
“told you so..”
Mah: “nah
sudah disimpulkan dengan baik oleh Dewo. Sesama Hindu saja masih sering cekcok,
konflik rumah tangga wajar Ge. Makanya pilih pasangan yang tepat, kalau dapet
yang seagama oke, kalau ternyata kliknya sama yang beda agama, pertimbangkan
lebih berharga yang mana untuk dipertahankan.”
Wo: ”Tapi
pikir lah dulu, berat sekali pasti. Salah satu convert aja susah, sering
masalah, apalagi jalan beda-beda. Kasian anak.”
Mah: “Ge,
tadi pendapatku dan Dewo bukan berati 100% benar. Pas tidaknya kembali ke
sejarah keluarga. Keluargaku dari Jawa Ge. Dari kerajaan Majapahit.”
PG: “Weh
itukan emang Kerajaan Hindu di Jawa, Mamaku ibunya nak Jawa tapi dari Kerajaan
Demak. Aku ada darah Jawa-nya, mungkin
akau akan kembali ke asal, hahaha”
Mah:
“wkwkwkw kalau sudah cinta, akan ada banyak hal untuk pembenaran.”
Wo: “saat
ibumu pakai mukena dan bapakmu pakai udeng, kamu di kelas 3 SD akan
bingung... dan jadi seorang komunis ge.”
PG: “aku
akan mukedeng, mukena udeng. Lol”
*****
Demikian
hasil percakapan kami, nah lumayan lah ada ilmunya. Intinya yang bisa aku
simpulkan, setiap hal selalu ada resiko dan harga yang harus dibayar, dan
selalu ada reward yang pantas.
Jaga
persaudaraan, cintai tanah air, kurangi sampah plastik.
-You’ll
Never Walk Alone-
3 comments:
coba kalo atas dasar cinta aj cukup, pasti dunia jd lebih sederhana n jujur...
nice n inspiring, as always, ge!
Tulisan yang bagus, sebuah catatan yang menginspirasi. Tetaplah berkarya.
rasanya aq ikut berpartisipasi di percakapan itu, kenapa tiba2 gak ada ??
,,oke ge...gini caramu ge...dasar botak berbulu..
Post a Comment